jurnalisme
Seminar "Kesenian dalam Dinamika Perubahan
Sosial"
Hegemoni Kekuasaan Terhadap Kiprah Kesenian Indonesia
"Kebebasan memang tidak praktis menjamin suatu negeri mencapai keadilan dan kedamaian, tetapi tanpa kebebasan, suatu negeri tidak akan mencapai keduanya".
(Albert
Camus)
Agaknya persoalan kekuasaan dalam kesenian merupakan momok yang tak kunjung selesai. Persoalan ini menjadi bahasan utama pada seminar sehari "Kesenian dalam Dinamika Perubahan Sosial", yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM, Taman Budaya Yogyakarta, Dewan Kesenian Yogyakarta, Yayasan Seni Cemeti pada tanggal 2 September 1998 di Gedung UC UGM Yogyakarta.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut Hotman Siahaan (Fisip Unair), A. Toni Prasetiantono (Pakar dan Dosen Ekonomi UGM), Ki Sugati (dalang), Bakdi Soemanto (PPKPS UGM), Ana Nadya Abrar (Dosen FISIPOL UGM), N. Riantarno (pimpinan Teater Koma Jakarta), Budi Santosa (LBH Yogyakarta) dan Kol.Pol.Drs. Erwin Tobing MPA. (Wakapolda DIY), dengan moderator Bambang Hudaya dan Farukh H.T. Pembahasan yang dikemukakan di seminar tersebut antara lain berkisar masalah perizinan kesenian dan perpajakan kesenian, masing-masing dengan perspektif yang berbeda. Seminar ini sendiri bertujuan menghasilkan deklarasi seniman dan budayawan Yogyakarta tentang perizinan dan perpajakan kesenian
tersebut.
Dimulai dari kajian tentang dasar adanya permasalahan hegemoni negara terhadap kiprah kesenian oleh Hotman Siahaan. Menurutnya negara berupaya dalam mengeliminasi ekspresi rakyat, apalagi kurang lebih selama tiga dasawarsa negara telah menghegemoni kiprah segala bentuk kesenian dengan perangkat birokrasi yang otoriter. Dengan demikian menghasilkan bentuk-bentuk korporatisme negara pada segala aspek kesenian padahal Indonesia sempat merasakan kebebasan berkesenian sesudah orde lama (1967-1973). Sesudahnya situasi politik mulai tertutup, termasuk sosiologi politik dalam kesenian harus
dihapus.
Sedangkan Bakdi dalam makalahnya berisi catatan peristiwa di Yogyakarta yang telah terimbas masalah perizinan, melihat bahwa sebenarnya kesenian sendiri tidak berbahaya namun memang menjadi masalah ketika kesenian memasuki wilayah politik, terutama masalah perizinan, apalagi berkembangnya eksperimentasi kesenian semakin menambah kompleksnya permasalahan. Kesenian hanya menjadi pelengkap penderita karena tidak mempunyai power yang mampu untuk berhadapan dengan politik. Bakdi juga menilai bahwa sebagai counter hegemoni, kesenian bisa hadir tanpa dia harus memiliki physical/political power asal dia terus direproduksi sebagai media kontrol.
Lain halnya Ana Nadya Abrar, yang selain menyoroti masalah ke mana izin harus diterapkan, ia juga berpendapat bahwa persoalan kesenian hanyalah salah satu dari manifestasi kekuatan hegemoni negara. Maka kesenian itu sendiri bisa dianggap korban dari perubahan sosial. Disini Abrar juga pesimis bisakah kesenian menjadi faktor pengubahnya. Dia berharap bahwa seni harus menjadi kritik yang transparan.
Phobia Perizinan dan Eksistensi Dewan Kesenian
Bicara kebebasan ternyata juga bicara soal pembatasan, yang dalam hal ini berwujud lembaga perizinan, dimana telah terjadi lokalisasi damn pereduksian pasal 28 UUD 45, ditambah lagi adanya pasal 510 KUHP pada zaman orde baru yang tidak lain adalah pembubaran kegiatan berkumpul. Politik perizinan adalah salah satu bentuk korporatisme negara. Dipandang sebagai bentuk-bentuk regulasi dengan alasannya yaitu demi kestabilan politik, tidak saja pada kesenian namun seluruh kehidupan sipil. N. Riantarno yang cukup kenyang dengan birokrasi perizinan sempat juga dulu mendapat ancaman bom di bawah panggung tahun 1978 dan interogasi oleh aparat, secara tegas dia menolak perizinan karena dinilai sangat mengganggu kreativitas sebagai seniman. Dia berpendapat hendaknya dibedakan dengan jelas antara izin kesenian dengan izin keramaian.
Dari perspektif hukum, Budi Santosa melihat bahwa dalam hegemoninya pemerintah masuk pada lembaga sosial dengan menentukan struktur kognitif dan afektif, sehingga masyarakat dipaksa menelan konsensus segolongan elit kekuasaan saja yang mengakibatkan mandulnya interpretasi pada penafsiran. Dari apa yang disuguhkan Budi ini, Hotman juga memberi contoh tentang keberadaan Dewan Kesenian (DK). Sebagai mitra ideal antara pemerintah dan rakyat dalam pemberdayaan kesenian, DK mendapat sorotan tajam dalam seminar ini. Kalau tidak setuju dengan politik perizinan, sebaiknya dewan kesenian di manapun harus dibubarkan. Pendapat tersebut mendapat tanggapan Yuswantoro Adi seorang pelukis, yang berpendapat jika DK dibubarkan, apalagi jika seniman yang mengurus biasanya kisruh, DK harus bersifat metamorfosa dimana di dalamnya ada praktisi kesenian, peneliti dan secara ideal menjadi jembatan antara seniman dan
masyarakat.
Pihak aparat dalam hal ini kepolisisan, Kol.Pol. Drs. Erwin Tobing, MPA, menjelaskan adanya hubungan antara kesenian, stabilitas politik dan perangkat kamtibmas. Kegiatan kesenian boleh diselenggarakan asal tidak mengganggu ketertiban umum. Selanjutnya dijelaskan lagi bahwa polisi bukanlah alat pengontrol penguasa atau subyektivitas kekuasaan demi mempertahankan status quo. Dalam birokrasi perizinan sebenarnya kegiatan kesenian menempati paing bawah strata ancaman kamtibmas. Polisi tidak mempersoalkan materi kegiatan kesenian tetapi pada kemuingkinan ekses eksternal yang timbul. Jika benar demikian, perlukah perizinan menjadi momok yang memusingkan? Salah satu seminar secara kritis berpendapat politik perizinan tidak lagi mendesak bagi seniman karena jika seniman masih terkait pada perizinan, maka seniman tersebut gagal menempatkan dirinya pada arus perubahan yang tengah berlangsung.
Pajak Kesenian
Pekerja kesenian kadang sulit dikatakan mencari uang melalui kegiatan kesenian. Menurut Ki Dalang Sugati kesenian bukan wahana mencari nafkah tetapi juga sebagai ekspresi rakyat. Dengan demikian, masih pantaskah seluruh pergelaran kesenian dipajaki oleh pemerintah? Ada contoh yang diberikan Toni Prasetiantono yaitu teater di Broadway Avenue Amerika kala menggelar Miss Saigon ,mendapat pemasukan US$25,000. Maka wajar kalau dikenai pajak (City tax). Tetapi kemudian jika melihat pementasan monolog "Lidah Pingsan" oleh Butet Kertarejasa dengan tiket Rp.3000 per orang dan jumlah penonton kurang lebih 600 orang, maka income yang didapat sekitar Rp.1.800.000. Lantas makan apa pemainnya? Kemudian teater eksperimental sampai ketoprak keliling, pantaskah dipakai? Apalagi menyusul berkurangnya daya beli dan kelangkaan sponsor sebagai dampak krisis. Maka Toni berpendapat bahwa pajak kesenian perlu mendapat perhatian dan memang tidak bisa dihilangkan begitu saja karena kalau dibubarkan harus ada gantinya. Satu-satunya caa yaitu pemerintah harus melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi beberapa item jenis pajak yang lain. Dia percaya bahwa pajak kesenian sebenarnya bisa dialihkan berdasarkan pertimbangan ekonomis keuangan negara tersebut. Sebagai solusinya adalah adanya peran riil dari Dewan Kesenian sebagai filter kelayakan apakah sebuah pentas seni layak dipajaki atau tidak.
Maka sehatnya kesenian memang bermula dari kesadaran untuk saling menghargai pendapat. Di era reformasi seperti ini kesenian semestinya dapat mengaktualisasikan penyehatan masyarakat, untuk itu undang-undang perizinan tidak perlu diberlakukan lagi. Kita semua pasti berharap terciptanya tatanan masyarakat madani pada abad teknologi informasi (information super higway) dimana terbentuk masyarakat yang dewasa dan suprarasional selektif, yang tidak mengenal lagi izin
kesenian. [A.Sudjud D & Mikke Susanto]
Tulisan
ini dimuat di Surat YSC volume I 1999
|