|
JURNALISME
Sigitas Statiunas
Chemistry of
Combution and Illumination-Structure of
Flame
Sebuah Dialog antar teks
Pemikir Rusia Mikhail Bakthtin
berpandangan, makna suatu teks atau karya bukan dari
pancaran ‘jiwa’ atau ‘suara’ sang seniman, tetapi pada
relasi-relasi internal di dalam teks atau karya itu
sendiri. Pandangan ini bisa diasumsikan seniman bukan
lagi sebagai operator tunggal yang mempunyai otoritas
makna terhadap karya seninya, objek-objek karyanya bisa
menjadi subjek-subjek yang juga mempunyai otoritas makna, baik dari bentuk maupun nilai
orisinilnya. Pada
situasi ini posisi seniman bergeser menjadi agen
penghubung referensi idiom dan gaya. Tetapi yang
menjadi pertanyaan, apakah seniman disini benar-benar
steril dari subjektivitasnya?
Prolog di atas merupakan kesan yang tertangkap
dari karya visual rupa dari Sigitas Statiunas, seorang
seniman kontemporer dari Lithuania. Kedatangan Sigitas
untuk berpameran di Rumah Seni Cemeti ini merupakan
kerjasama Yayasan Seni Cemeti dengan UNESCO
International Fund for the Promotion of Culture
dan Ford Foundation. Sigitas adalah seniman yang
concern dengan studi sejarah, kebudayaan dan
mitologi. Dalam pamerannya ini, Sigitas membuat tema
yang terinspirasi dari aksioma seorang ilmuwan kimia
Inggris, Edward I. Youmas. Dapat dilihat pada karyanya,
antara lain tokoh seni rupa seperti Leonardo Da Vinci,
Van Gogh, seorang martir Santo Sebastian, Jonathan Swift
dan mitologi sisifus, dihadirkan dengan metafora yang
kuat pada bidang kanvas dan instalasinya.
Sigitas meletakkan prinsip elemen pembentuk api
yang ada di alam sebagai konsep pamerannya yaitu
Chemestry of combustion and Illumination-structure of
flame yang artinya ilmu kimia pembakaran dan
penerangan struktur nyala api. Sebuah ide yang
menurutnya merupakan metafora dari tingkatan
sipritualitas dari karya seni. Pada hal lain penggunaan
tiga citra warna dari aksen timur tengah menjadi warna
dominan disemua lukisannya misalnya biru pada St.
Sabastian-Julius, merah pada Vortex dan
kuning pada Tower of Babel-Gate of Sun. Alasan
pemilihan media kanvas disebutkan bahwa lukis merupakan
tradisi artistik yang paling tua dalam sejarah, sembari
menilik kutipan dari pernyataan Leonardo da Vinci, bahwa
lukis adalah ratu semua seni. Format lukisannya
berukuran besar, misal pada Metamorphosis-Battle at
Angier, 500´ 520 cm dan Sysiphus-man and
Stone, 340´ 270 cm, ukuran ini diinspirasinya
oleh besarnya arsitektur oriental. Berikutnya adalah
dimasukkanya unsur-unsur lain dari karya seninya yaitu
patung-patung kecil berbentuk figur orang yang
diletakkan pada lukisannya. Lantas yang lain yaitu
instalasi dari elemen batu, logam, foto dokumentasi
kuno, arang dan lampu pijar yang kemudian didisplay di
bawah lukisannya. Dikaryanya hadir pula print-out
teks-teks dari dokumen-dokumen epos dan sejarah kuno.
Khusus pada pembukaan pamerannya terdengar tabuhan drum
yang liar, raungan gitar listrik dan lagu dari lagu-lagu
grup rock Metallica yang mengiringi
performancenya.
Pada pamerannya ini Sigitas memberi penjelasan
bahwa elemen-elemen yang dipilih dan dibuat didasari
oleh makna, spiritual, psikologi dan filosofi dari
elemen tersebut. Misalnya warna biru dikatakanya identik
dengan warna dekoratif timur tengah, simbol keperawanan
di Nasrani, berasosiasi langit dan air. Kemudian ada
pula lukisan yang banyak mempengaruhi banyak seniman
yaitu lukisan Pertempuran di Angiare, karya
Leonardo da Vinci. Sangat terasa di sini Sigitas seolah
menghadirkan nostalgia dari makna-makna pada tiap objek
atau elemen karyanya. Benang merah dari karya seni
Sigitas ini yaitu terlihat adanya ‘situasi dialogis’
antar idiom dan simbolnya. Munculnya kisah sisyphus,
Pertempuran di Angiare karya Leonardo Da Vinci,
dan menara babel pada karyanya menandakan sebuah
referensi dari masa lalu yang mempunyai ‘esensi’ sama
walau dengan idiom dan gaya yang beragam. Referensi ini
disatu sisi menegaskan adanya kode budaya eropa timur,
timur tengah dan Asia yang hadir di karyanya. Terlihat
karena begitu saratnya teks ini sehingga tak terelakkan
bagi penikmat yang seolah harus merangkai sendiri teks
yang bertebaran ini agar dicapai maknanya.
Konstruksi estetik yang dihimpun dari berbagai
idiom dan gaya dari karya Sigitas ini merupakan sebuah
intertekstualitas (pelintasan dari satu sistem
tanda-sign system ke sistem tanda lainnya-Julia
Kristeva, seorang post-strukturalis Perancis). Dalam
karya Sigitas dapat diperhatikan pula suatu kehadiran
idiom dan gaya masa lalu (lihat Yasraf Amir Pilliang,
Hiper Realitas Kebudayaan) sebagai
pastiche, yaitu suatu karya yang disusun dari
referensi dan idiom estetik masa lalu, dengan tujuan
dihadirkan lagi untuk dihargai dan diapresiasi.
Yang teramati di sini bahwa subjek sekaligus
objek dalam pameran tersebut seolah mempunyai posisi
horisontal dengan Sigitas sebagai pencipta karyanya (seniman), lalu apakah ini yang dikredokan oleh Roland
Barthes dalam bukunya The Death of Author bahwa
‘pengarang sudah wafat’? Tentunya di sini ada peluang
untuk melihat maksud di balik idiom dan referensi yang
digunakannya. Minat Sigitas yang dengan verbal
memperlihatkan simulasi tokoh seni, budaya, epos dan
sejarah, nampaknya menyiratkan betapa pentingnya hidup
berinteraksi dan menjalin pengertian antar kompleksitas
budaya yang berbeda. Pesan seniman dari ‘Nemunas
Land’ ini merupakan introspeksi, khususnya mengenai
disintegrasi bangsa akhir-akhir ini yang banyak
disebabkan macetnya komunikasi dan ketidakacuhan
terhadap budaya lain ! [A. Sudjud
D]
Tulisan in dimuat pada Surat YSC Volume 6
(Enam)
| |
|
 ,
terimakasih atas kunjungan Anda. Mudah-mudahan situs yang telah
terancang ini banyak memberi manfaat bagi Anda dalam bidang seni,
budaya dan teknologi. Situs ini seoptimal mungkin memperhatikan
aspek networking, akurasi data dan updating. Saya berharap
barangkali dari teman-teman sekalian ada yang merespon kegiatan
ini sehingga proses pendataan ini menjadi lebih baik. Saran, pesan
dan komentar langsung anda kirimkan ke email sujud@usa.net atau ke kolom
komentar situs ini. [Yogyakarta,
30 Juli 2000] | | |