cndl_grn4_md_wht.gif    
                            

                                                                                                                                      
A. Sudjud Dartanto Kirim Email Komentar Cari Data Peta situs ini  Situs Sahabat Newsgroup Mailing List

Berisi informasi, catatan dan data seni-budaya, sains dan teknologi. Selain info dan data personal

PROGRAM

Workshop tungku dan pembakaran Keramik Raku [Yayasan Seni Cemeti dan Dosen Seni Keramik ITB]
Workshop Jurnalisme Seni Rupa Kontemporer[Yayasan Seni Cemeti, Aliansi Jurnalis Independen, Lembaga Penelitian Institut Seni indonesia] 
Seminar Dokumenter Film Budaya[ Yayasan Mandiri Fim Indonesia]
Workshop Penulisan dan kritik Fotografi [Imaging Centre, Cemeti Art Hause, Yayasan Seni Cemeti]
Dialog Seni Kita di 104.75 UNISI FM [Radio UNISI FM Yogyakarta, Yayasan Seni cemeti]
Diskusi dua bulanan Yayasan Seni Cemeti
Diskusi bulanan di Galeri Benda
Diskusi dua mingguan di Galeri Benda
Buletin Surat Yayasan Seni Cemeti

JURNALISME - RESENSI

Geliat Seni  Keramik dalam mencari esensi bentuk[Sani Majalah Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia]
Hegemoni Kekuasaan terhadap kiprah kesenian Indonesia [Seminar kesenian dalam dinamika perubhan sosial di UC Universitas Gadjah Mada]
Pameran foto Arsitektur Kontemporer  Jepang
Penelitian Seni Rupa Kontemporer [DR. M.Dwi Marianto, Drs. Rizki zaelani, Drs. Asmudjo Jono Irianto, DR. Sumartono]
Online Exhibition [Gate Foundation]
Evilism [Perupa Apotik Komik, Popok Triwahyudi]
Seni Radikal dunia ketiga [Seniman Lithuania, Sigitas Statiunas]

GALERI

Seni Keramik [sculptural Ceramic, tile]
Seni Instalasi [indoor, oitdoor]
Desain & Logo

LEMBAGA

Galeri benda
Yayasan Seni Cemeti
KUNCI : Cultural Studies Centre

Kembali kedepan

 

 

JURNALISME

 

 

Sigitas Statiunas

Chemistry of Combution and Illumination-Structure of Flame

Sebuah Dialog antar teks

Pemikir Rusia Mikhail Bakthtin berpandangan, makna suatu teks atau karya bukan dari pancaran ‘jiwa’ atau ‘suara’ sang seniman, tetapi pada relasi-relasi internal di dalam teks atau karya itu sendiri. Pandangan ini bisa diasumsikan seniman bukan lagi sebagai operator tunggal yang mempunyai otoritas makna terhadap karya seninya, objek-objek karyanya bisa menjadi subjek-subjek yang juga mempunyai otoritas makna, baik dari bentuk maupun nilai orisinilnya. Pada situasi ini posisi seniman bergeser menjadi agen penghubung referensi idiom dan gaya. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah seniman disini benar-benar steril dari subjektivitasnya?

Prolog di atas merupakan kesan yang tertangkap dari karya visual rupa dari Sigitas Statiunas, seorang seniman kontemporer dari Lithuania. Kedatangan Sigitas untuk berpameran di Rumah Seni Cemeti ini merupakan kerjasama Yayasan Seni Cemeti dengan UNESCO International Fund for the Promotion of Culture dan Ford Foundation. Sigitas adalah seniman yang concern dengan studi sejarah, kebudayaan dan mitologi. Dalam pamerannya ini, Sigitas membuat tema yang terinspirasi dari aksioma seorang ilmuwan kimia Inggris, Edward I. Youmas. Dapat dilihat pada karyanya, antara lain tokoh seni rupa seperti Leonardo Da Vinci, Van Gogh, seorang martir Santo Sebastian, Jonathan Swift dan mitologi sisifus, dihadirkan dengan metafora yang kuat pada bidang kanvas dan instalasinya.

Sigitas meletakkan prinsip elemen pembentuk api yang ada di alam sebagai konsep pamerannya yaitu Chemestry of combustion and Illumination-structure of flame yang artinya ilmu kimia pembakaran dan penerangan struktur nyala api. Sebuah ide yang menurutnya merupakan metafora dari tingkatan sipritualitas dari karya seni. Pada hal lain penggunaan tiga citra warna dari aksen timur tengah menjadi warna dominan disemua lukisannya misalnya biru pada St. Sabastian-Julius, merah pada Vortex dan kuning pada Tower of Babel-Gate of Sun. Alasan pemilihan media kanvas disebutkan bahwa lukis merupakan tradisi artistik yang paling tua dalam sejarah, sembari menilik kutipan dari pernyataan Leonardo da Vinci, bahwa lukis adalah ratu semua seni. Format lukisannya berukuran besar, misal pada Metamorphosis-Battle at Angier, 500´ 520 cm dan Sysiphus-man and Stone, 340´ 270 cm, ukuran ini diinspirasinya oleh besarnya arsitektur oriental. Berikutnya adalah dimasukkanya unsur-unsur lain dari karya seninya yaitu patung-patung kecil berbentuk figur orang yang diletakkan pada lukisannya. Lantas yang lain yaitu instalasi dari elemen batu, logam, foto dokumentasi kuno, arang dan lampu pijar yang kemudian didisplay di bawah lukisannya. Dikaryanya hadir pula print-out teks-teks dari dokumen-dokumen epos dan sejarah kuno. Khusus pada pembukaan pamerannya terdengar tabuhan drum yang liar, raungan gitar listrik dan lagu dari lagu-lagu grup rock Metallica yang mengiringi performancenya.

Pada pamerannya ini Sigitas memberi penjelasan bahwa elemen-elemen yang dipilih dan dibuat didasari oleh makna, spiritual, psikologi dan filosofi dari elemen tersebut. Misalnya warna biru dikatakanya identik dengan warna dekoratif timur tengah, simbol keperawanan di Nasrani, berasosiasi langit dan air. Kemudian ada pula lukisan yang banyak mempengaruhi banyak seniman yaitu lukisan Pertempuran di Angiare, karya Leonardo da Vinci. Sangat terasa di sini Sigitas seolah menghadirkan nostalgia dari makna-makna pada tiap objek atau elemen karyanya. Benang merah dari karya seni Sigitas ini yaitu terlihat adanya ‘situasi dialogis’ antar idiom dan simbolnya. Munculnya kisah sisyphus, Pertempuran di Angiare karya Leonardo Da Vinci, dan menara babel pada karyanya menandakan sebuah referensi dari masa lalu yang mempunyai ‘esensi’ sama walau dengan idiom dan gaya yang beragam. Referensi ini disatu sisi menegaskan adanya kode budaya eropa timur, timur tengah dan Asia yang hadir di karyanya. Terlihat karena begitu saratnya teks ini sehingga tak terelakkan bagi penikmat yang seolah harus merangkai sendiri teks yang bertebaran ini agar dicapai maknanya.

Konstruksi estetik yang dihimpun dari berbagai idiom dan gaya dari karya Sigitas ini merupakan sebuah intertekstualitas (pelintasan dari satu sistem tanda-sign system ke sistem tanda lainnya-Julia Kristeva, seorang post-strukturalis Perancis). Dalam karya Sigitas dapat diperhatikan pula suatu kehadiran idiom dan gaya masa lalu (lihat Yasraf Amir Pilliang, Hiper Realitas Kebudayaan) sebagai pastiche, yaitu suatu karya yang disusun dari referensi dan idiom estetik masa lalu, dengan tujuan dihadirkan lagi untuk dihargai dan diapresiasi.

Yang teramati di sini bahwa subjek sekaligus objek dalam pameran tersebut seolah mempunyai posisi horisontal dengan Sigitas sebagai pencipta karyanya (seniman), lalu apakah ini yang dikredokan oleh Roland Barthes dalam bukunya The Death of Author bahwa ‘pengarang sudah wafat’? Tentunya di sini ada peluang untuk melihat maksud di balik idiom dan referensi yang digunakannya. Minat Sigitas yang dengan verbal memperlihatkan simulasi tokoh seni, budaya, epos dan sejarah, nampaknya menyiratkan betapa pentingnya hidup berinteraksi dan menjalin pengertian antar kompleksitas budaya yang berbeda. Pesan seniman dari ‘Nemunas Land’ ini merupakan introspeksi, khususnya mengenai disintegrasi bangsa akhir-akhir ini yang banyak disebabkan macetnya komunikasi dan ketidakacuhan terhadap budaya lain ! [A. Sudjud D]

Tulisan in dimuat pada Surat YSC Volume 6 (Enam)

                  

 

    neon_aqua_md_wht.gif

, terimakasih atas kunjungan Anda. Mudah-mudahan situs yang telah terancang ini banyak memberi manfaat bagi Anda dalam bidang seni, budaya dan teknologi. Situs ini seoptimal mungkin memperhatikan aspek networking, akurasi data dan updating. Saya berharap barangkali dari teman-teman sekalian ada yang merespon kegiatan ini sehingga proses pendataan ini menjadi lebih baik. Saran, pesan dan komentar langsung anda kirimkan ke  email sujud@usa.net atau ke kolom komentar situs ini.

[Yogyakarta, 30 Juli 2000]  

 


  
Editor dan disain: a.sudjud dartanto |  07/23/2000