cndl_grn4_md_wht.gif    
                            

                                                                                                                                      
A. Sudjud Dartanto Kirim Email Komentar Cari Data Peta situs ini  Situs Sahabat Newsgroup Mailing List

Berisi informasi, catatan dan data seni-budaya, sains dan teknologi. Selain info dan data personal

PROGRAM

Workshop tungku dan pembakaran Keramik Raku [Yayasan Seni Cemeti dan Dosen Seni Keramik ITB]
Workshop Jurnalisme Seni Rupa Kontemporer[Yayasan Seni Cemeti, Aliansi Jurnalis Independen, Lembaga Penelitian Institut Seni indonesia] 
Seminar Dokumenter Film Budaya[ Yayasan Mandiri Fim Indonesia]
Workshop Penulisan dan kritik Fotografi [Imaging Centre, Cemeti Art Hause, Yayasan Seni Cemeti]
Dialog Seni Kita di 104.75 UNISI FM [Radio UNISI FM Yogyakarta, Yayasan Seni cemeti]
Diskusi dua bulanan Yayasan Seni Cemeti
Diskusi bulanan di Galeri Benda
Diskusi dua mingguan di Galeri Benda
Buletin Surat Yayasan Seni Cemeti

JURNALISME - RESENSI

Geliat Seni  Keramik dalam mencari esensi bentuk[Sani Majalah Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia]
Hegemoni Kekuasaan terhadap kiprah kesenian Indonesia [Seminar kesenian dalam dinamika perubhan sosial di UC Universitas Gadjah Mada]
Pameran foto Arsitektur Kontemporer  Jepang
Penelitian Seni Rupa Kontemporer [DR. M.Dwi Marianto, Drs. Rizki zaelani, Drs. Asmudjo Jono Irianto, DR. Sumartono]
Online Exhibition [Gate Foundation]
Evilism [Perupa Apotik Komik, Popok Triwahyudi]
Seni Radikal dunia ketiga [Seniman Lithuania, Sigitas Statiunas]

GALERI

Seni Keramik [sculptural Ceramic, tile]
Seni Instalasi [indoor, oitdoor]
Desain & Logo

LEMBAGA

Galeri benda
Yayasan Seni Cemeti
KUNCI : Cultural Studies Centre

jurnalisme

Kembali kedepan

 

 

 

 

 

Penelitian Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta era 90-an


Upaya Mengurai "Benang Kusut"


Sebetulnya apa itu seni rupa kontemporer? Bagaimana sebenarnya praktek seni rupa kontemporer itu sendiri? Pertanyaan ini kerap dibicarakan sebagai bahan diskusi. Pengertian arti dan prakteknya muncul beragam, barangkali karena memang arti kontemporer itu sendiri yang mempunyai makna yang luas, bukan tidak mungkin, siapa saja mempunyai tafsir yang berbeda tentang pengertian dan bentuk praktek seni rupa kontemporer.


Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer muncul awal 70-an, ketika G. Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno Wisetetromo, seorang pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap usang. Pendapat lain dari Yustiono, staf pengajar FSRD ITB, melihat bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pecahnya isu postmodernisme (akhir 1993 dan awal 1994), dimana sepanjang tahun 1993 menyulut perdebatan dan perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun di media massa pada waktu itu. Sedangkan kaitan seni kontemporer dan (seni) postmodern, menurut pandangan Yasraf Amior Pilliang, pemerhati seni, pengertian seni kontemporer adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu, dengan catatan khusus bahwa seni postmodern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni postmodern, seni postmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan (bersifat futuris).

Memintal Pluralitas Yogyakarta


Di Yogyakarta segala bentuk aktivitas seni rupa dapat tumbuh dan berkembang, artinya segala macam karya seni diungkapkan dengan berbagai latar belakang penciptaan. Maraknya penyelenggaraan pameran mulai dari Biennal, Festifal Kesenian Yogyakarta, pameran-pameran tunggal atau bersama sampai hadirnya seniman negara lain yang berpameran di Yogyakarta mendukung kuatnya atmosfir kesenian (seni rupa0 di kota ini. Iklim kondunsif ini, antara lain juga, memunculkan banyak seniman Yogyakarta yang bekerja dengan memakai idiom-idiom yang "bukan seperti tradisi biasanya" atau non konvensional. Dengan bahasa metafora yang dimiliki masing-masing seniman, mereka kerap kali menggelitik pikiran dan empati publik. Seniman menggunakan bermacam-macam cara penyampaian dari media seni hingga kecenderungan pemakaian media campuran, yang seringkali "tak terduga", sebagai representasi gagasan mereka. Jika demikian bagaimana melihat keberagaman itu berhubungan dalam konteks wacana seni rupa kontemporer. Cara apakah yang memberi jalan pada penikmat untuk dapat mencerna karya-karya tersebut?


Untuk itu Yayasan Seni Cemeti yang didukung oleh Princes Claus mengundang 4 peneliti untuk mencoba meneliti berbagai kecenderungan tadi. Empat orang peneliti itu, antara lain Drs. Asmudjo Jono Irianto, Dr. M. Dwi Marianto, drs. Rizki A. Zaelani dan Dr. Sumartono, MA. Mereka melakukan serangkaian penelitian tentang senirupa kontemporer Yogyakarta pada era-90-an dengan mengambil sudut pandang berbeda sebagai kajian analisis yang saling melengkapi.


Peneliti Drs. Asmudjo J. Irianto, mengambil analisis tentang konteks tradisi sosial politik dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta era 90-an, sebuah pendekatan tentang kecenderungan adanya nilai-nilai yang lain di luar seni rupa yang mempengaruhi perkembangan seni rupa Yogyakarta,. Tentang seni kontemporer, Asmudjo menuliskan bahwa dalam "art World" internasional ada perbedaan dalam penggunaan istilah seni modern dengan seni kontemporer dalam melihat seni rupa asia, seperti apa yang diutarakan Caroline Turner bahwa kecenderungan seni kontemporer Asia juga dipengaruhi oleh masa modern dan pramodern dari kebudayaan yang terjadi.
Misalnya tentang konteks tradisi pada praktek seni rupa Yogyakarta, diungkapkan Asmudjo bahwa pencarian tradisi pada akhir 80-an dan awal 90-an, dapat dilihat sebagai usaha untuk "menemukan" nilai dan makna masa lalu yang dianggap memiliki keterkaitan atau konteks dengan masa kini. Dimana usaha "pencarian" ini berbeda dengan pendahulunya. Ditulis pula bahwa persentuhan seniman muda Yogyakarta dengan medan seni rupa internasional mau tidak maui membuka pemahaman mereka bahwa karakter etnis atau lokal yang tampil dalam karya menjadi salah satu kekuatan atau modal untuk eksplorasi lebih mendalam. Kemudian pada konteks sosial politik dekade 90-an Asmudjo menuliskan bahwa seni rupa kontemporer yogyakarta sebagai representasi situasi sosial, politik, merujuk pada apa yang dikatakan Janet Woll mengatakan bahwa seni adalah produk sosial, maka karya seni rupa kontemporer Yogyakarta adalah juga teks yang terbaca.


Dr. M. Dwi Marianto mengetengahkan perhelatan pengertian kontemporer yang dengan memakai metode dalam membaca (menginterpretasi) teks, yang memakai pendekatan hermeneutika (Gadamer & Ricouer), dilengkapi juga dengan beberapa monografi seniman yang berada pada "wacana" tersebut, antara lain Anusapati, Dadang Christanto, Hedi Haryanto, Samuel Indratma, Agung kurniawan, Nindityo Adipurnomo, Hanura Hosea, Heri Dono, Hedi Haryanto, S.Teddy D dll. Analisisnya yang berjudul Gelagat Yogyakarta Menjelang Millenim Ketiga memberi pengertian bahwa yang paling penting dalam seni kontemporer adalah bukan apa-apa atau elemen-elemen atau komponen-komponen yang diambil dari seni tradisional atau seni rupa pramodern. Ditulis lagi bahwa rasa kekontemporeranlah yang berperan untuk satu presentasi seni kontemporer.
Penliti yang ketiga, Drs. Rizki A. Zaelani, menganalisis seniman Yogyakarta dan karyanya yang mucnul dengan kode-kode "kontemporer" sepanjang era 90-an. Rizki menawarkan edentifikasi bahwa adanya persamaan antara seniman kontemporer Yogyakarta dengan seniman kontemporer Indonesia (diluar Yogyakarta) & internasional. Untuk memahami berlangsungnya kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam seni rupa kontemporer Indonesia, Rizki memanfaatkan pengamatan kritikus seni Sanento Yuliman, yang menyangkut wilayah teorisasi. Juga tentang penilaiannya dari pernyataan Gerakan Seni Rupa Baru, sebagai pernyataan yang muncul akibat dari kelangsungan karya seni yang mereka hadapi. Untuk kecenderungan karya seni rupa kontemporer, menurut Rizki, melibatkan tiga masalah yaitu gejala perupaan, tema karya, serta orientasi praktek seni yang dijalankan seniman, khususnya dalam pengkajian karya seniman kontemporer Yogyakarta generasi 90-an, Rizki menemukan tiga kasus sebagai petunjuk yaitu, pengembaraan dalam konvensi medium/idiom artistik, keterkaitan antara ekspresi dan aspek tekstualitas, serta keterkaitan antara aspek tekstualitas, serta keterkaitan antara aspek tekstualitas dan aspek keterlibatan publik.


Peneliti ke empat, Dr. sumartono, MA memfokuskan tiga analisa pada lingkup ilmu sejarah seni rupa (art history). Pertama, yaitu peran kekuasaan baik personal maupun organisasional dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta, bagaiman peran kekuasaan dalam mendorong, menentang atau mengakomodasi kelahiran seni rupa di Yogyakarta dan perkembangan yang berlangsung sesudahnya. Kedua, adalah mengungkap makna seni rupa kontemporer ciptaan seniman-seniman kontemporer Yogyakarta yang berkaitan erat dengan konteks kekuasaan. Ketiga yaitu mengungkap makna seni rupa kontemporer Yogyakarta yang terkait erat dengan konteks kekuasaan. Kekuasaan yang ditulis Sumartono ialah yang terkait dengan konteks sosial, politik dan ekonomi dan juga bersandar pada pandangan Michael Foucault, yang mengatakan kekuasaan tidak terkonsentrasi di tangan penguasa negara, perusahaan, organisasi agama, tetapi bercokol di seluruh bidang kehidupan masyarakat. Sumartono, juga tidak melupakan pembahasan karya senirupa sebagai fenomena fisis yang juga akan dikaitkan dengan kekuasaan. Sumartono mengungkapkan bahwa ada dua pengertian "seni rupa kontemporer", pertama adalah pengertian yang beredar luas di masyarakat, yang bisa diartikan seni rupa modern dan seni rupa alternatif seperti instalasi, happening dan performance art. 


Dari empat sudut analisis ini kiranya dapat merefleksikan dan merepresentasikan, secara aktual dan analitik sebagai gamaran yang mencatat dan mengkaji apa-apa yang dihasilkan dinamika seni rupa Yogyakarta pada dekade 90-an. Sekaligus dapat dipahami bahwa berbagai aktivitas dan kecenerungan senirupa ini ternyata terdapat indikasi-indikasi yang menunjukkan fenomena berkembangnya teks kontemporer dalam karya seni seniman Yogyakarta. Upaya pengkajian ini, semoga pula dapat menjadi "alat bantu" melihat, memahami dan mengkaji tentang beragamnya karya-karya seni rupa kontemporer yang ada.
[A. Sudjud.D]

Tulisan ini dimuat di Surat YSV Volume IV 1999

                  

 

    neon_aqua_md_wht.gif

, terimakasih atas kunjungan Anda. Mudah-mudahan situs yang telah terancang ini banyak memberi manfaat bagi Anda dalam bidang seni, budaya dan teknologi. Situs ini seoptimal mungkin memperhatikan aspek networking, akurasi data dan updating. Saya berharap barangkali dari teman-teman sekalian ada yang merespon kegiatan ini sehingga proses pendataan ini menjadi lebih baik. Saran, pesan dan komentar langsung anda kirimkan ke  email sujud@usa.net atau ke kolom komentar situs ini.

[Yogyakarta, 30 Juli 2000]  

 


  
Editor dan disain: a.sudjud dartanto |  07/23/2000